(0271) 625546
15 Juli 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Sering muncul perdebatan, di mana orang mempersoalkan tatanan norma dalam suatu komunitas. Pada dasarnya, ada kesadaran bagwa suatu tatanan norma itu dibentuk untuk memandu suatu kehidupan bersama. Dengan adanya norma, komunitas dibantu untuk selalu mengatur sebuah pola dan cara hidup berdasarkan nilai dan tujuan tertentu. Tujuannya jelas, supaya kehidupan suatu komunitas itu dapat bertahan dan menjangkau visi yang turun menurun diwariskan ke setiap generasi. Hal inilah yang terjadi bagi bangsa Israel pasca pembuangan dari Babilonia. Setelah peristiwa itu, selama berabad-abad bangsa Israel berupaya keras untuk menata kembali kehidupannya. Dibantu oleh para Nabi, bangsa Israel menerima berbagai arahan dan norma untuk membenahi cara hidupnya. Sebab, pengalaman kehancuran akibat dari penyimpangan dari Allah rupanya memunculkan trauma yang mendalam, sehingga dengan sadar para pemimpin bangsa berusaha menetapkan berbagai tatanan norma guna membangun menjaga disiplin kemurnian hidup dan membangun kembali relasi dengan Allah yang rusak.
Akan tetapi hal itu bukan tanpa persoalan. Setelah berlalu beberapa generasi, tatanan norma yang dihidupi selama beberapa abad itu tidak seluruhnya dimengerti secara mendalam. Tanpa mengerti apa yang menjadi motif dan esensi dasar dari aturan, banyak orang terjebak pada pelaksanaan-pelaksanaan yang formal semata. Hal tersebut kemudian memunculkan kesalahmengertian yang disebut oleh Yesus sebagai kemunafikan. Yakni ketika seseorang melaksanakan tatanan norma adat hanya karena merasa itu wajib dan harus, tanpa memahami nilai-nilai dasar yang melandasinya. Kritik itu diungkapkan Yesus pada perikop kali ini dengan menyebutkan bahwa bangsa yang munafik “memuliakan Allah dengan bibirnya, namun hatinya jauh.” Yang sebenarnya Yesus hendak menyorot langsung praktik-praktik ritual yang mementingkan status formal sah-tidak sah, najis-tidak najis, tanpa menyadari esensi dasar dari kenajisan. Termasuk Yesus pun menyinggung praktik kurban dan persembahan yang diwajibkan, sementara untuk melaksanakannya orang bisa melalaikan prinsip perbaikan relasi kepada Tuhan dan sesama yang mendasari ritual kurban.
Di sinilah kita dapat mencoba untuk merenungkan kritik Yesus yang memilah, mana laku ritual yang sifatnya artifisial atau yang dibuat-buat, dan ritual sejati yang mengarah pada visi dan nilai utama. Supaya jangan sampai ketika kita melakukan ibadah, kita justru terjebak pada perdebatan tentang pernak-pernik formal, dan melupakan esensi dari ritual dan ibadah yang sebenarnya bertitik tolak pada usaha-usaha perbaikan relasi dengan Allah dan sesama.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.