(0271) 625546
11 Agustus 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Sepanjang sejarah kehidupan berbangsa dan berjemaat; kita menyadari bahwa pergumulan tentang kekecewaan, bisa mengarah pada kebencian dan konflik perpecahan. Sebagaimana Kerajaan Daud yang juga tidak lepas akan hal tersebut. Seperti peristiwa makar, perebutan kekuasaan dan intrik politik yang bahkan dilakukan oleh Absalom puteranya. Sebuah ironi dari nama Absalom yang memiliki arti “Bapa Perdamaian,” namun justru menjadi bapa makar dan perang saudara antara Israel dan Yehuda. Hal tersebut terjadi karena ketidakpuasan atas kepemimpinan ayahnya yang hanya berdiam diri atas pemerkosaan Tamar adiknya oleh Amnon. Bahkan setelah pelariannya atas pembunuhan terhadap Amnon; saat diijinkan kembali ke Istana Raja, ia masih harus dikucilkan selama dua tahun. Kekecewaan terus tumbuh menjadi kebencian hingga membawanya pada keputusan untuk Makar; dengan berkampanye selama empat tahun untuk merebut hati orang Israel. Kemudian mengukuhkan diri sebagai Raja di Hebron, dan berhasil memaksa Daud ayahnya mengungsi. Pada sisi Daud; dalam menangani peristiwa inipun ada dilema kepemimpinan yang dialami Daud sebagai raja dan ayah. Sebagai raja ia harus melawan Absalom, namun sebagai ayah ia menginginkan keselamatan puteranya. Akhirnya perangpun terjadi dan hasil dari peperangan tersebut adalah sebuah duka; dimana kemenangan Daud atas kematian puteranya tidaklah membahagiakan dirinya, justru mendukakannya. Maka benar betapa konflik, kebencian dan kekecewaan hanya akan menyisakan kisah tragis dan duka.
Berkaca pada peristiwa kerajaan Daud; tentu kitapun pernah kecewa pada kepemimpinan seserorang, baik dalam keluarga, masyarakat, gereja maupun dalam kehidupan berbangsa. Tidak menutup kemungkinan, bahkan kita sendiri pernah membuat kecewa seseorang atau kelompok atas kepemimpinan kita. bisa jadi kekecewaan yang tidak dikelola dengan baik, menimbulkan kebencian hingga perselisihan atau perpecahan yang berujung pada duka yang tragis.
Hal tersebut tentu menjadi ancaman serius bagi kehidupan keluarga, gereja dan bangsa kita. Namun kita tentu tidak kehilangan harapan. Sebagaimana permohonan pemazmur yang bisa mewakili dan berbicara untuk kita. Sebab benar bahwa ada ungkapan yang mengatakan: “Selebihnya dari Alkitab berbicara kepada kita, tetapi Mazmur berbicara untuk kita.” Begitu pula Mazmur 130 ini juga memberikan diri untuk memohon bagi umat Israel dan kita kepada Allah. Permohonan akan pembebasan, yang sedang dalam keadaan terpuruk, berdosa dan lemah. Seperti dalam kata “jurang yang dalam” adalah metafora dalam Perjanjian Lama yang umum untuk penderitaan, keputusasaan, dan depresi. Meskipun keadaan sedemikian buruk, namun Pemazmur tetap memiliki harapan. Menarik untuk mencermati kata harapan dalam bahasa ibrani: yakhal” ( ָי ַחל ) atau “qavah” (ָק ָוה ) keduanya berarti menunggu, terkhusus “qavah” (ָק ָוה ) akar katanya adalah ( ַקו ) a cord (as connecting) “tali penghubung” dengan tujuan mengikat (to bind together - perhaps by twisting). Artinya harapan bagi Pemazmur adalah seperti tali yang ia pegang agar tidak terputus, jatuh terperosok semakin dalam. Pemazmur mengajak kita untuk berharap pada Tuhan, yang artinya saat kita memiliki harapan maka sebenarnya kita sedang berpegang pada “tali penghubung” atau terus terhubung kepada Tuhan. Hingga kita mengalami pembebasan dan pemulihan dari jurang yang dalam yang adalah kekecewaan, kebencian, perpecahan seperti yang terjadi saat ini.
Tentu saja pengharapan hanya menjadi angan yang menguap jika tidak dibarengi dengan upaya nyata. Karena itu kita bersama belajar dari jemaat Efesus yang dalam berbagai macam pergumulan, seperti: Pergumulan ekonomi; sebagai kota pelabuhan yang ditinggalkan, adanya perselisihan jemaat dan pengajaran sesat. Dalam keadaan yang demikian Rasul Paulus mencoba memberikan hal mendasar agar jemaat memberikan dirinya untuk menyadari pada 3 hal, yakni :
Untuk mewujudkan semua itu, tentu diperlukan sebuah kerelaan. Maka kita perlu belajar pada Yesus yang adalah Roti Kehidupan. Dimana penggambaran akan diri Yesus ini oleh TB2 diterjemahkan sebagai Roti kehidupan; sebagai sumber kehidupan, yang terwujud karena kerelaan memberi diri untuk dimakan atau berkurban. Ini menarik sebab biasanya pribadi manusia akan memakan bahkan saling memakan satu dengan yang lain. Namun Yesus menempatkan dirinya sebagai yang bersedia dimakan, ini adalah sebuah kerelaan yang luar biasa. Kerelaan yang demikianlah yang membuat kita tidak akan haus dan lapar lagi; sebab Roti kehidupan jelas bukan Manna atau materi apapun yang sementara. Roti Kehidupan juga memberikan gambaran tentang pemenuhan kebutuhan oleh Allah, bukan untuk memenuhi keinginan/nafsu yang harus dipuaskan.
Meskipun demikian; tindakan Kristus yang mau memberikan diri-Nya dengan rela untuk dimakan, tidak membuat semua orang senang. Banyak diantara mereka yang justru menyerang Yesus dengan tuduhan dan ujaran kebencian. Banyak yang melihat latar belakang Kristus yang mereka anggap tidak pantas, bahkan dianggap sebagai bentuk penghujatan. Keberadaan umat Israel yang demikian sangat dimengerti Yesus, dan justru membuat-Nya lebih menjelaskan makna keberadaan diri-Nya yang sungguh membawa keselamatan. Bahkan bisa saja kita mengalami posisi yang sama seperti Kristus, saat berjuang memberi diri jutru dihina, dilukai dan diabaikan.
Perjuangan Kristus yang tidak mudah untuk memberi diri; mengingatkan kita bahwa memang tidak ada cara yang mudah dan instan sebagai manusia baru, dalam memujudkan pengharapan akan pemulihan dari kekecewaan, konflik, dan perpecahan (No. Handle On The Cross). Kita diajak untuk mengupayakan perubahan hidup yang memberikan diri sebagai makanan bagi sesama dan segala ciptaan. Bukan justru menjadikan sesama sebagai makanan untuk memuaskan nafsu kepentingan dan keegoisan kita. Memberi diri dan merelakan disini tentu bukan tindakan rela ditindas secara sembarangan tanpa ada dampak membangun dan membuat perubahan. Bukan sebuah pembully-an pada diri sendiri, namun justru melalui kerelaan dan pemberian diri kita, terjadi pembangunan dan pembaharuan diri.
Maka tentu kita juga dalam memberi diri harus membuat orang kenyang dan hidup melalui tutur dan laku kita. contohnya jika ada yang kelaparan untuk didengar dan diperhatikan, maka kita memberikan telinga dan hati kita untuk mendengar penuh perhatian. Jika ada yang kelaparan akan maaf dan penyesalan, maka perlu memaafkan agar dapat memberikan diri untuk merelakan luka hati agar sembuh kembali. Jika ada yang kelaparan akan kerukunan dan persekutuan karena kekecewaan, konflik dan perpecahan; maka kita diajak memberi diri menjadi rekonsiliator. Tentu masih banyak cara, kita memberikan diri dan rela untuk memulihkan kehidupan keluarga, gereja dan bangsa kita dari kekecewaan, kebencian dan perpecahan. Tuhan Yesus memberkati kita semua, amin.