(0271) 625546
17 Agustus 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Banyak hal yang jika dikaitkan dengan kemerdekaan tentu membawa pada sukacita, sebab kemerdekaan itu sendiri dalam bahasa Sanskerta: मह���क maharddhika; yang berarti: kaya, sejahtera, kuat, dan bebas dari segala belenggu. Bangsa kitapun disebut sebagai bangsa yang merdeka, namun seutuhnyakah kemerdekaan itu? Tentu menjadi refleksi yang mendalam bagi kita bersama untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab selama kehidupan berjalan, belenggu bisa datang silih berganti. Sebagaimana dahulu belenggunya adalah bangsa asing, kini bisa saja justru bangsa sendiri. Dahulu belenggunya adalah ketidakadilan, dan ketidaksetaraan yang dilakukan oleh penjajah, kini mungkin justru dilakukan oleh sahabat, keluarga kita sendiri, mungkin juga umat di Gereja dan Masyarakat, atau bahkan diri kita sendiri.
Dengan menyadari; bahwa masih ada belenggu pada bangsa kita, maka kita perlu belajar dari Salomo dan pemerintahannya. Dimana kerajaannya menjadi sebuah gambaran pemerintahan yang nampak begitu baik, karena mengijinkan siapa saja berperkara dihadapan Raja tanpa memandang status dan golongannya. Seperti dua pelacur yang dianggap hina dan buruk oleh masyarakat juga bisa diterima di Istana Salomo, bahkan diselesaikan persoalannya. Hal tersebut memiliki makna mendalam, dimana Istana Raja memanusiakan rakyatnya. Semua itu bisa terjadi, karena Hikmat Allah dianugerahkan kepada Salomo. Sebagaimana hikmat dalam bahasa Ibrani adalah khokh·mahʹ atau tu·syi·yahʹ, yang bisa diterjemahkan ”pengertian-pengetahuan” dan “pekerjaan yang membawa hasil baik.” Artinya bahwa setiap kita yang adalah orang percaya bisa disebut berhikmat, apabila senantiasa membawa hasil baik dari setiap pemikiran dan pekerjaan kita.
Hikmat dari Tuhan telah menuntun Salomo, karena Salomo dengan sepenuh hati dan peduli mendengar apa yang disampaikan oleh kedua ibu tersebut. Sehingga Hikmat Tuhan meneranginya untuk mengambil kesimpulan dan keputusan yang benar, bahkan dari sebuah pertengkaran antara kedua ibu tersebut. Hingga pada akhirnya buah dari pekerjaan Salomo mengadili tersebut, adalah hasil yang baik sebagaimana arti tu·syi·yahʹ. Kesediaan untuk mendengar yang luar biasa inilah; yang harus kita miliki, sebab umumnya manusia hanya mau didengar dan dimengerti.
Untuk mewujudkan tatanan sosial yang sedemikian indah seperti Istana Salomo, tentu kita perlu memiliki sikap hidup seperti Raja Salomo yang senantiasa mendekat pada Tuhan. Sehingga terus diterangi hikmatnya; serta tentu saja memperlakukan, mempedulikan, mendengar dan menerima siapa saja yang membutuhkan kita, tanpa membedakan berdasar latarbelakang dan statusnya.
Untuk melakukan semua itu, tentu membutuhkan komitmen yang sungguh sebagaimana Raja Daud. Dia menyadari betapa kotornya dunia ini, sehingga perlu baginya untuk memisahkan diri dari kenajisan. Sebagaimana dalam Mazmur 101 yang adalah ajakan mengagungkan Tuhan, tidak hanya dilakukan dengan puji-pujian, tetapi dengan cara hidup benar dihadapan-Nya. Artinya pujian kepada Allah yang sejati adalah hidup menurut kekudusan. Kekudusan inilah yang menjadi tujuan Daud sebagai seorang raja yang berkomitmen menegakkan integritas dirinya di atas dasar iman dan takut akan Tuhan. Kitapun diajak berkomitmen seperti Daud untuk tidak berkompromi dengan kejahatan dalam bentuk apapun. Daud ingin menunjukkan dan mempertahankan identitas dirinya, dengan tetap menjaga diri supaya hidupnya membawa pengaruh yang positif bagi bangsanya.
Pujian dan Nazar Daud ini ditujukan kepada Tuhan, karena ia begitu peduli pada bangsanya. Maka kita juga diajak untuk peduli kepada bangsa kita dengan berkomitmen untuk berperilaku benar. Semua itu kita lakukan bukan hanya untuk diri kita; namun untuk membawa dampak positif bagi bangsa, gereja dan keluarga kita. Dampak positif tersebut menjadikan bangsa kita dipulihkan dan dibarui serta dengan semakin banyak diisi oleh orang-orang benar dan setia dihadapan Allah.
Untuk melakukan semua itu; terkadang kita terhalang karena kita memiliki pandangan sebagai minoritas yang tidak bisa berbuat apapun atau bahkan tertindas. Namun sesungguhnya dalam minoritas itulah kita bisa berbuat banyak. Sebagaimana kita bisa belajar dari orang percaya penerima Surat 1 Petrus yang juga menjadi minoritas di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia. Namun justru perilaku hidup mereka tidak jauh berbeda dengan orang pada umumnya, serta dianggap berkhianat atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Kerena itu penulis surat ingin supaya; umat saat itu dan kita saat ini, juga menunjukkan kesetiaan pada hukum dan pemerintahan yang sah. Seperti yang tertulis dalam Pulpit Commentary: ”Bukan dari motivasi manusia, seperti rasa takut terhadap hukuman; tetapi demi Tuhan.” Inilah motivasi perilaku yang benar di hadapan Allah. Karena ketaatan kepada pemerintah itu harus dilakukan karena/demi Allah. Karena itu kita diajak untuk berupaya memiliki perilaku benar, dengan gaya hidup Kristus karena kita telah dimerdekakan. Bukan menggunakan kemerdekaan untuk menutupi kejahatan, tetapi justru menumbuhkan rasa nyaman dan diterima oleh warga masyarakat sekitar. Sehingga meskipun ada fitnah sekalipun tidak akan dipermalukan karenanya. Kita diajak mencontoh Yesus yang rela menderita dalam kebenaran untuk pembaruan dan pemulihan.
Untuk memujudkan semua itu kita memang diajak untuk menjadi agen kemerdekaan dalam karya pembaruan dan pemulihan oleh Tuhan. Karena memang seperti jemaat mula-mula yang bertumbuh bersama dalam pergumulannya. Demikian halnya bangsa kita, memiliki pergumulan yang juga menjadi keprihatinan kita. Keadilan dan kesetaraan tanpa keberpihakan adalah tujuan dari kemerdekaan itu sendiri. Maka kita perlu belajar dari jemaat mula- mula yang menjadi bagian dari Injil yang terus bergerak dan meluas, dan dalam hal itu dibutuhkan pribadi-pribadi seperti para diaken awal yang dalam kasih-kepeduliaannya bersedia menjadi pejuang bagi pergumulan jemaat mula-mula. Pemilihan diaken awal justru sebenarnya menjadi menarik sebab kriteria yang ditetapkan para Rasul yakni: baik, penuh Roh dan berhikmat. Hal tersebut tentu mengajak kita untuk rendah hati, bahwa ternyata tidak semua orang percaya mula-mula dan bahkan kita memiliki kriteria tersebut. kita masih jauh dari kata baik, dipenuhi roh dan berhikmat. Terbukti dengan banyaknya sungut-sungut, ketidakadilan dan pengabaian yang masih terus muncul dalam kehidupan jemaat dan bangsa.
Keberadaan tubuh gereja sejak semula memang sudah bergumul dengan hal tersebut bahkan hingga sekarang. Namun yang terpenting adalah dalam pergumulan senantiasa ada solusi, dan para diaken pejuang awal inilah yang kemudian menjadi bagian dari pemulihan. Karena kepedulian mereka bersama para Rasul yang melihat kebutuhan mendasar umat. Maka, pemulihan itupun terjadi dimana ada rekonsiliasi relasi jemaat Yunani dan ibrani, pemulihan ketidakseimbangan dalam pelayanan, serta pemulihan pemenuhan pelayanan meja bagi yang sangat membutuhkan. Melalui refleksi yang demikian; kitapun juga diajak untuk bersedia diutus, karena jika kita mau jujur bahwa begitu banyak orang disekitar kita yang juga membutuhkan pelayanan dan kepedulian kita secara holistik. Untuk itulah kita dipilih dan dipanggil sebagai agen pemulihan bangsa; sebagaimana kata agen adalah pribadi yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama tertentu. Maka setiap orang percaya harus menyadari panggilan, untuk bertindak sebagai perantara atas Nama Tuhan bagi pemulihan dan pembaharuan bangsa ini. Amin
LPP Sinode GKJ dan GKI SW Jateng