(0271) 625546
25 Agustus 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Ada kisah ilustrasi seperti ini: Pak Bagus baru saja membeli mobil. Mobil baru. Setiap hari, mobil itu dilap sehingga tidak ada debu yang menempel, terlihat selalu mengkilap. Namun pak Rudi, tetangganya, heran. Berbulan-bulan, ia tidak pernah melihat mobil itu dipakai ke luar rumah. Ia hanya melihat setiap hari mobil itu dikeluarkan dari garasi, dilap, dan dinyalakan untuk memanaskan mesinnya. Karena penasaran, pak Rudi bertanya ke pak Bagus, “Pak Bagus, saya kok tidak pernah melihat mobil itu dipakai ya?” Jawab pak Bagus, “Benar pak Rudi, saya khawatir kalau saya pakai di jalan raya, nanti mobil saya terserempet atau tertabrak kendaraan lain. Saya sangat sayang sama mobil ini “Mendengar kisah ini, menjadikan kita geli dan bertanya-tanya: Lho, lalu apa gunanya beli mobil itu, kok cuma untuk disayang-sayang. Mobil yang tidak dipakai, jelas tidak bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai alat transportasi.
Kisah ilustrasi ini bisa juga menggambarkan kondisi gereja Tuhan. Gereja yang tidak berjuang untuk menjalankan misi Tuhan ibarat perahu penyelamat yang diparkir di gudang, padahal bisa digunakan untuk menolong orang-orang kebanjiran, atau ibarat mobil ambulans disimpan di garasi padahal bisa dipakai mengangkut mereka yang sakit. Setiap umat Tuhan perlu berjuang untuk mewujudkan misi Tuhan dalam hidupnya masing-masing.
Sang pemazmur melalui mazmur 84 mengungkapkan sayangnya dan bahkan juga mengajak umat untuk mengungkapkan sayang dan cintanya kepada rumah Tuhan. Rumah Tuhan dalam konteks mazmur ini, jika dipahami secara fisik, sebuah bangunan di bukit Sion. Namun sang pemazmur, tidak sekadar terpaku pada hal yang fisik, tetapi pada Tuhan sang Empunya rumah yang ia cintai tersebut.
Mari kita perhatikan beberapa ekspresi kedalaman cintanya pada rumah Tuhan maupun kepada Tuhan yang bersemayam di rumah-Nya tersebut: “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya Tuhan semesta alam!” (ayat 2) Kata disenangi, Ibrani: Yedidot, menunjukkan hubungan cinta kasih yang intim suami-istri. Mengambarkan kedalaman perasaan umat terhadap Rumah Tuhan dan Tuhan. Jadi emosi yang dirasakan bukan sekadar senang, melainkan cinta yang intim. “Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN...” (ayat 3) Rumah Tuhan menjadi tempat yang dirindui...bukan tempat yang lain, tetapi Rumah Tuhan. “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu, daripada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik.” (ayat 11) Perhatikan kontras yang dipakai: pelataran dan tempat lain, ambang pintu dan dalam kemah lain. Bahkan hanya di pelataran dan ambang pintu, tidak bisa digantikan oleh tempat-tempat lainnya. Ini menekankan betapa berharganya waktu bersama dan untuk Tuhan, dibandingkan lainnya.
Ada hal menarik, ternyata bukan hanya pemazmur dan umat yang mencintai Rumah Tuhan, burung pipit dan burung layang-layang pun tertarik dengan Rumah Tuhan. Mereka mendapat berkat dari Rumah Tuhan. Burung-burung itu mendapatkan manfaat dan berkat melalui Rumah Tuhan tersebut. “Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah- Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku!” (ayat 4)
Keberadaan rumah Tuhan ini pada dasarnya juga merefleksikan keberadaan gereja kristen (rumah Tuhan) dimanapun berada. Apakah gereja-gereja kristen dan umat-Nya akan menjadi gereja dan umat yang berdaya tarik bagi banyak orang? Apakah orang- orang lain (bukan beragama Kristen) juga bisa mendapatkan manfaat dan berkat seperti burung pipit dan burung layang- layang dengan Rumah Tuhan di Bukit Sion?
Kesadaran kita akan misi gereja dan perjuangan untuk mewujudkan misi gereja menjadi penting. Rasul Paulus berseru, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah” (Efesus 6:11). Apa maksud Rasul Paulus dengan seruan ini? Apakah Sang Rasul sedang menggelorakan perang dan kekerasan fisik terhadap mereka yang bukan pengikut-pengikutnya?
Rasul Paulus memang memakai gambaran perlengkapan senjata, namun demikian gambaran kekerasan dan kebrutalan perang dari perlengkapan senjata ini, justru dilucutinya. Ikat pinggang, baju zirah, kasut, ketopong, dan pedang tidak lagi menjadi simbol kekerasan, namun pelayanan dan perjuangan hidup dalam kasih Tuhan. Kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, menjadi “senjata” melawan roh-roh jahat yang memecah- belah kehidupan bersama. Jadi, dalam konteks negara kita ini, perjuangan untuk mewujudkan misi gereja adalah mengenakan “senjata”, yaitu kebenaran, keadilan, damai sejahtera, keselamatan, dan firman-Nya, untuk melawan beragam ujaran kebencian, fitnah, intoleransi, diskriminasi yang bisa memecah-belah bangsa kita ini.
Perjuangan kita, gereja dan umat-Nya memang belum selesai. Gereja kita hidup dalam beragam persoalan bangsa yang ada. Oleh sebab itulah, gereja dan umatnya diingatkan dan didorong untuk mau melakukan misi hidupnya dengan sungguh-sungguh. Gereja yang tidak menjalankan misinya ibarat mobil baru yang tidak pernah dipakai di jalan, hanya di parkir di garasi rumah. Bisa jadi tetap terlihat bagus dan megah, namun tidak ada gunanya.
Setiap umat Tuhan juga memiliki misi hidupnya masing-masing. Misi Nelson Mandela adalah mengakhiri apartheid. Misi Mother Teresa adalah mewujudkan belas kasih pada mereka yang terbuang. Apa misi hidup kita masing-masing dalam konteks hidup yang kita jalani? Apapun profesi dan peran kita, selalu terdapat misi Tuhan dalam hidup kita. Tentu misi kita bisa berbeda dengan Mandela dan bunda Teresa, atau bahkan orang-orang lain. Yang penting: kenali, temukan, dan perjuangkan misi kita tersebut, karena perjuangan kita memang belum usai. Amin.