(0271) 625546
29 Mei 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Salah satu fakta penting dan menarik dari perkembangan Kekristenan mula-mula ditandai dengan cara hidup. Sebagaimana bacaan Alkitab kali ini bersaksi tentang bagaimana para rasul kemudian mampu membentuk sebuah komunitas persekutuan seiring bertambahnya jumlah orang percaya. Tentu belum ada lembaga, belum ada organisasi, atau bahkan jabatan formal. Yang ada di antara mereka adalah peran-peran yang dihayati secara nyata, dengan melakukan sesuatu sesuai kemampuannya untuk saling menolong dan melayani.
Fakta ini penting untuk diingat, karena bacaan kali ini mengingatkan kita tentang sebuah refleksi iman yang dinyatakan dalam cara hidup yang khas. Hal itu tampak dalam sikap jemaat mula-mula yang saling berbagi, saling membantu dan mengingat kebutuhan antara satu dan yang lain meskipun harus hidup dalam kesulitan. Perlu menjadi catatan, bahwa ketika gereja belum melembaga seperti saat ini, gereja mula-mula hidup dengan tidak mudah. Sebab saat itu, di sepanjang abad I- abad III, orang Kristen mula-mula hidup tanpa suatu identitas yang formal karena ancaman bahaya. Menjadi Kristen di masa itu adalah pilihan yang berbahaya, sebab mereka akan dituduh sebagai kaum penghianat, penyebar kabar bohong dan pengikut ajaran sesat. Mereka dibenci oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga sering kali mereka harus hidup dalam persembunyian. Dan uniknya, justru di dalam keterbatasan itulah karakter “sehati dan sejiwa” itu muncul.
Di sinilah makna kristen sebagai cara hidup patut selalu kita refleksikan. Sebab memang sudah semestinya kekristenan itu melampaui sekedar atribt atau bahkan status keanggotaan saja. Terutama bila merenungkan konteks saat ini, refleksi tentang identitas kekristenan sebagai suatu cara hidup itu menjadi kian relevan. Dalam krisis atau bencana pandemi yang dirasa semakin menghimpit dan menyulitkan hidup kita sekarang ini, panggilan untuk hidup “sehati dan sejiwa” justru semakin mengemuka. Dan dari panggilan itu, ada dua kemungkinan yang muncul. Pertama, panggilan “sehati dan sejiwa” bisa saja menjadi ironi, sebab di masa krisis ini tidak sedikit orang yang mengaku diri kristen justru menjadi egois dan tidak mau peduli pada sesamanya. Malah banyak pula yang bersikap acuh dan seenaknya. Sementara kemungkinan yang kedua, panggilan “sehati dan sejiwa” juga bisa menjadi momentum untuk mengaktualisasikan jatidiri sebagai orang kristen. Utamanya untuk meningkatkan solidaritas dan kepedulian seperti yang dilakukan oleh jemaat mula-mula.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.