(0271) 625546
24 Juli 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Meski peradaban manusia sudah jaman modern, namun minat pada mitos tidak sepenuhnya pudar. Kita tahu tentang bagaimana masih banyak bagian dari masyarakat kita yang begitu percaya pada takhayul dalam berbagai bentuk. Ada yang percaya akan roh-roh leluhur yang masih menyertai kehidupan kita misalnya. Atau ada juga yang percaya pada kisah-kisah legenda dalam cerita rakyat sebagai bagian dari peristiwa yang nyata dalam sejarah. Oleh sebab itu, meski peradaban sudah sedemikian maju oleh perkembangan ilmu pengetahuan, cerita tentang Jangka Jayabaya masih dipercaya juga sebagai ramalan yang tak kalah akurat untuk meramalkan masa depan. Meski sudah ada satelit cuaca, toh jasa pawang hujan masih dibutuhkan. Termasuk meski sudah ada teknologi yang memampukan manusia dalam bermobilitas dengan semakin cepat, kemampuan raga sukma masih diyakini tidak kalah cepatnya.
Banyak orang sering terjebak pada perdebatan salah-benar tentang hal ini sampai terburu-buru saling menghakimi. Namun semestinya perlu dipahami bahwa mitos adalah bagian dari cara berpikir manusia yang tidak bisa dilepaskan. Sebab simbol dan intuisi merupakan bagian penting dari spiritualitas, sehingga orang perlu memahami simbol untuk semakin percaya pada sesuatu yang diyakininya.
Hal itu bisa kita saksikan dari cara Filipus mengabarkan Injil kepada Sida-sida dari Etiopia. Sementara kisah yang dibaca oleh sida-sida itu berasal dari teks Yesaya yang sudah berumur ratusan tahun dari masa lalu, namun Filipus memberi keterangan bahwa sosok yang dimaksud dalam teks itu adalah Yesus. Filipus rupanya menafsirkan kembali simbol-simbol yang dipaparkan dalam tradisi Yesaya itu untuk menyatakan imannya. Simbol apakah itu? Gambaran tentang anak domba kurban yang menanggung penderitaan. Yesaya 53 yang dikutip penulis Kisah Para Rasul sendiri bersaksi tentang kurban penebusan dosa manusia. Apakah yang dimaksud Yesus? Orang Yahudi yang membaca teks Yesaya sebagai bagian dari sejarah masa lalu tidak berpikir demikian. Namun bagi Filipus, kurban penebusan dosa itu dihayatinya dalam diri Yesus. Dan cara itu rupanya menarik hati Sida-sida tersebut, sampai ia menghendaki diri untuk dibaptis dengan air. Dari Filipus inilah, kita perlu belajar untuk lebih cerdik dalam memaknai kembali simbol-simbol yang kita hidupi dalam iman. Kesediaan sida-sida dari Etiopia untuk dibaptis adalah bentuk dari keberhasilan sentuhan spiritual simbolik yang meneguhkan iman akan keselamatan pada Kristus.
Sering kali memang simbol menjadi unsur yang dilupakan, padahal manusia sangat memerlukannya. Bila kita amati dalam konteks belakangan ini, kajian medis dan statistik secara ilmiah mencoba mencari solusi dan meramalkan kapan bencana covid berakhir. Namun hal itu rupanya tidak cukup untuk mengatasi masalah yang multidimensional dalam masyarakat. Dalam hal inilah, upaya-upaya simbolik diperlukan untuk membangun optimisme dan gerakan-gerakan solidaritas. Dengan simbol, nilai-nilai kemanusiaan dapat muncul sebagai dasar yang mendorong masyarakat untuk melakukan cinta kasih kepada sesamanya.
Dari hal inilah rasanya gereja kini diperhadapkan pada tantangan untuk menerjemahkan simbol-simbolnya supaya dapat meneguhkan pengharapan dan keyakinan pada tindakan karya penyelamatan Allah. Sebab belakangan santer muncul kepercayaan pada berbagai isu baik dalam bentuk ramalan-ramalan mistik dari masa lalu, wahyu atau wisik tentang penemuan obat corona, maupun teori-teori konspirasi politik yang membingungkan masyarakat tentang wabah. Bukan tidak mungkin bahwa ajaran tentang keselamatan dalam Kristus yang kita imani akan tergerus, jika kita tidak mencoba memahami kembali dan menghidupi dengan kreatif makna-makna simbol dalam seluruh ajaran iman kristen.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.