(0271) 625546
28 Agustus 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Selalu ada dilema dalam kondisi sulit. Hal itu terungkap dalam keadaan yang dialami Abram. Ketika ia sampai di Mesir, dia tidak hanya menjumpai kesulitan kelaparan, namun ancaman perampasan dan pembunuhan dari orang Mesir. Dalam hal ini, Sarai istri Abram berkemungkinan untuk dirampas oleh orang Mesir. Maka, Abram pun bersiasat supaya ia bisa tetap hidup. Ia memanfaatkan ketertarikan Firaun terhadap Sarai, dan mempersiapkan muslihat untuk menipu Firaun.
Adalah hal yang wajar di saat itu, jika perempuan dianggap sebagai properti seperti halnya barang-barang. Maka, ketika Firaun memperlakukan Abram dengan baik dan memberi berbagai kebutuhan Abram sebagai “alat tukar” atas Sarai yang diakui sebagai adik Abram itu adalah hal yang biasa. Sebab, Abram kuatir hal yang lebih buruk bisa terjadi bila Firaun tahu bahwa Sarai adalah istrinya. Dari sini, ada kesan berbohong seolah-olah dapat dibenarkan dalam kondisi-kondisi tertentu, apalagi terdesak. Lebih lagi, kita saksikan juga kalau Allah membela Abram dengan mengirim tulah kepada Firaun.
Cerita kali ini menarik, karena dapat menjadi refleksi tentang kehidupan keseharian manusia bahkan di masa kini. Barang kali, memang sesuatu yang khas dari manusia yang lekat dengan intrik. Di segala level, dari hubungan antar orang-perorangan, sampai yang tingkat paling rumit di aras politis sekalipun, seluruhnya tidak lepas dari intrik dan muslihat. Dan pertanyaan mendasar bagi kita kini adalah, apakah memang intrik dan muslihat itu bisa dibenarkan secara iman?
Berkaca dari kisah Abram yang harus melindungi keselamatan dirinya dalam kisah yang kita simak kali ini, sebenarnya tidak ada pernyataan pembenaran. Kita hanya dapat menduga secara tersirat bahwa seolah-olah Allah membenarkan Abram karena menjatuhkan tulah pada Firaun. Namun jika kita berandai-andai, kalau saja Abram tidak berbohong, apakah benar ia akan dibunuh dan Allah tidak menolongnya? Tidak ada informasi dalam teks. Karena apabila mengacu pada janji dan jaminan keselamatan dari Allah di perikop sebelumnya, bukankah semestinya Abram yakin saja?
Pada titik ini kita belum juga bisa memastikan apakah tindakan Abram itu benar atau salah. Namun sejauh yang dapat kita pahami, bahwa dugaan negatif dalam pikiran Abram terhadap Firaun itu sudah membuatnya melakukan kebohongan. Dan yang harus menjadi perhatian kita, bahwa toh Allah tetap menolong Abram tidak lantas bisa dijadikan klaim pembenaran atas kebohongan itu. Karena justru hal itu sebagai bentuk bahwa Allah menepati janjinya kepada Abram. Jadi, meski manusia bisa berbuat salah, rupanya Allah tetap menolong. Semoga, kita dapat belajar dari kisah ini bukan untuk membenarkan kebohongan. Melainkan semestinya justru berusaha meyakini janji keselamatan dari Allah, sebelum terlanjur dalah dalam bertindak.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.