(0271) 625546
01 Oktober 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Keluarga mana yang tidak pernah berkonflik? Rasanya tidak ada. Mengapa? Karena setiap anggota keluarga memiliki perbedaan. Sekalipun dilahirkan dari orangtua yang sama, anak- anakpun memiliki perbedaan. Perbedaan adalah karunia Tuhan bagi umat manusia. Namun, sayangnya, perbedaan justru kerap kali menciptakan konflik. Konflik pada dirinya sendiri menyakitkan, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan kita, seperti anggota keluarga yang lain.
Ada kisah seorang anak yang pada waktu SMP pernah ditegur keras oleh Mamanya. Mamanya menyebut dia sebagai “si trouble maker.” Perkataan Mamanya membekas hingga ia dewasa. Kepada Mamanya ia selalu menyebut dirinya sebagai anak trouble maker. Mamanya sudah berulang kali meminta maaf, namun luka itu tak juga hilang. Ini contoh betapa luka dari orang yang dekat dengan kita seringkali tidak mudah dihapuskan.
Hari ini kita membaca surat Paulus kepada jemaat di Filipi. Paulus sadar betul, anggota jemaat hidup dalam keragaman. Perbedaan yang jika tidak dikelola dengan baik akan menghasilkan perpecahan. Hidup bersama dalam sebuah komunitas pastilah menyebabkan gesekan atau konflik. Sebab setiap anggota komunitas memiliki tujuan, nilai hidup, latar belakang, karakter, dan sebagainya yang beragam. Justru karena itu setiap anggota komunitas perlu memiliki figur pemersatu. Siapakah dia? Bukan tokoh yang menjadi perintis jemaat Filipi. Bukan sponsor utama kegiatan. Bukan pula tokoh yang dianggap bijaksana. Figur pemersatu itu adalah Yesus Kristus sendiri. Itu sebab, sebelum semuanya berjalan memburuk, Paulus memberikan kiat bagaimana hidup dalam perbedaan. Kata Paulus, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (ay. 5).
Apa sumber potensi konflik mereka? Tidak dijelaskan dalam teks. Namun, jika kita membandingkan pengalaman jemaat Filipi dengan jemaat Korintus, maka dapat diduga bahwa banyak anggota persekutuan yang merasa bangga menjadi bagian dari kelompok tokoh-tokoh yang dikaguminya. Dalam bahasa surat Korintus disebutkan, ada mendaku sebagai golongan Paulus, Apolos, Kefas, bahkan Kristus (1 Kor. 1:12). Masing-masing kelompok tentunya merasa diri benar. Itu sebabnya, Paulus mengingatkan bahwa Yesus Kristus adalah sumber nasihat, penghiburan, persekutuan, kasih, dan kemurahan (ay. 1). Artinya, tidak ada golongan apapun, sebab semua bersumber pada Kristus.
Jadi, penyebab utama konflik yang merusak tatanan kehidupan komunitas adalah egosentrisme, memusatkan perhatian pada diri sendiri. Beberapa contoh egosentrisme di tengah jemaat Filipi disebutkan Paulus antara lain: mencari kepentingan diri sendiri (ay. 2), mencari pujian bagi diri sendiri (ay. 2), dan menganggap diri sendiri sebagai yang utama (ay. 3).
Untuk mengatasi hal itu Paulus mengajak anggota komunitas untuk melihat teladan Yesus. Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan” (ay. 6). Dengan kata lain, Yesus tidak memusatkan perhatian pada kepentingan-Nya, melainkan pada kepentingan umat manusia. Bahkan Yesus telah mengosongkan diri (ay. 7). Mengosongkan diri bukan berarti Yesus kehilangan keilahian-Nya. Mengosongkan diri berarti menambahkan dalam diri Yesus yang kekal itu, kemanusiaan yang terbatas dan fana.
Dari nasihat Paulus inilah kita bisa belajar tentang kehidupan komunitas keluarga kita. Sumber konflik keluarga adalah egosentrisme. Cobalah kita perhatikan. Konflik dalam keluarga itu seringkali berawal dari hal-hal yang sederhana. Soal meletakkan baju kotor, memencet pasta gigi, menaruh barang bukan pada tempatnya, lupa mematikan lampu kamar mandi, dan banyak lagi yang lain. Namun ketika ditegur kita tidak terima. Kita merasa orang lain juga melakukan hal yang sama. Dan banyak alasan yang kita kemukakan untuk membela diri. Sebaliknya teguran kerap dilakukan seolah-olah kita yang paling benar.
Konflik-konflik kecil itu kerap menambah dan menyuburkan luka di hati. Luka yang makin lama makin menganga. Kata-kata kita menjadi kasar dan kehilangan kontrol. Wajah dan bahasa tubuh kita jauh dari kelembutan cinta kasih. Justru karena itu setiap anggota keluarga perlu belajar kerendahan hati seperti Yesus. Kerendahan hati berarti lebih memerhatikan kepentingan orang lain dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Mudah? Tentu saja tidak. Namun, bukankah kita ingin meraih kebahagiaan di tengah keluarga kita? Berarti harus ada harga yang dibayar. Harganya adalah belajar merendahkan hati. Itulah yang dilakukan Yesus. Yesus merendahkan hati bahkan mati di atas kayu salib demi kepentingan manusia.
Untuk bisa memiliki kerendahan hati seperti Yesus, ada sebuah kiat penting. Kiat itu adalah mengosongkan diri. Mengosongkan diri bukan berarti kehilangan dirinya sendiri. Tidak mungkin manusia menghilangkan dirinya. Yang dapat dilakukan adalah menambahkan diri keberadaan orang lain dalam hati kita. Itulah yang dilakukan Yesus. Yesus tidak kehilangan keilahian-Nya, melainkan menambahkan dalam diri- Nya kemanusiaan yang terbatas dan fana.
Diceritakan ada dua orang kakak beradik yang hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia. Untuk menghidupi diri, mereka saling bantu menanami satu-satunya ladang warisan orang tuanya. Hasilnya, dibagi rata satu sama lain. Tahun demi tahun berlalu, hingga suatu kali sang kakak menikah dengan perempuan dari desa sebelah. Namun, kakak beradik ini sepakat tetap saling bantu di ladang. Istri sang kakak pun selalu membawakan makanan dan minuman untuk kedua bersaudara itu. Sementara hasil panen, tetap dibagi rata untuk kedua kakak beradik itu
Suatu hari, pada sebuah malam, si adik merenung. Ia berpikir, rasanya kurang adil jika mereka punya jatah hasil panen yang sama, padahal sang kakak sudah punya tanggungan keluarga. Karena itu, ketika malam semakin larut, ia diam-diam membawa satu karung hasil panen yang menjadi jatahnya untuk dibawa ke rumah kakaknya. Begitu seterusnya setiap kali panen. Akan tetapi, anehnya, setiap kali memberikan satu karung hasil panen, cadangan hasil panen di rumahnya tak pernah berkurang. Itu baru disadarinya setelah beberapa waktu berlalu.
Suatu malam, saat hendak kembali mengirimkan satu karung panen, si adik berinisiatif mengambil jalan yang berbeda dari jalan biasanya. Tanpa dinyana, di sebuah jalan sempit, ia berpapasan dengan sosok yang juga sedang membawa karung. Hampir saja ia mengira itu adalah orang yang hendak mencuri hasil panen di rumah kakaknya. Namun, setelah dilihat lebih teliti, yang dijumpai ternyata justru sang kakak sendiri. Mereka pun saling terpana, kaget melihat saudaranya satu sama lain sedang mengangkat karung hasil panen.
“Dik, apa yang kamu lakukan malam-malam begini?”
“Kakak sendiri sedang apa?” tanya si adik. Sang kakak bercerita. “Dik, aku sebenarnya merasa tidak enak dengan kamu. Setiap kali, kamu pasti membantu kakak di ladang. Kamu bekerja dengan sangat keras. Rasanya tak adil jika hasil panen ini kakak bagi rata denganmu. Sebab, aku hidup berdua. Sudah ada yang mendampingi aku sepanjang hari, sehingga aku pasti tak akan selelah kamu yang hidup sendiri. Karena itu, aku memutuskan untuk membawa satu karung panen ini untuk aku berikan kepadamu. Aku harap, dengan hasil panen yang lebih banyak,
kamu bisa menata hidup lebih baik,” kata sang kakak.
“Kak, rupanya kita punya pikiran yang hampir sama. Kakak kasihan melihat aku, sedangkan aku juga kasihan melihat kakak dan istri kakak. Harusnya kakak memang menerima lebih banyak karena sudah ada tanggungan lebih banyak daripada aku. Karena itu, setiap panen, aku selalu membawakan satu karung untuk kuberikan di lumbungmu.”
Rupanya, kedua kakak beradik itu tak henti saling menyayangi. Pengorbanan mereka untuk saudaranya, ternyata langsung berbalas kebaikan pula. Karena itulah, meski dikurangi satu karung setiap kali panen, jumlahnya selalu tetap karena satu sama lain saling memberi. Menyadari hal itu, mereka pun saling berpelukan, menangis haru. Ternyata, persaudaraan mereka sangat tulus sehingga bisa terus saling mendukung dan membantu satu sama lain.
Memperhatikan kepentingan orang lain sebagai tanda kerendahan hati dan bersedia mengisi hati dengan anggota keluarga yang lain adalah teladan yang sudah ditunjukkan Yesus. Itulah yang perlu kita lakukan di tengah keluarga kita. Pertama- tama orangtualah yang perlu belajar meneladan Yesus yang rendah hati dan mengosongkan diri itu. Sikap itu akan menular pada anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Jika itu terjadi betapa indahnya hidup berkeluarga. Tuhan mencintai kita semua. Amin.