(0271) 625546
30 Oktober 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Karena Hagar memandang rendah Sarai, ia lalu ditindas dan berusaha melarikan diri. Seperti kita tahu di dalam teks, bahwa setelah Hagar tahu dirinya mengandung anak Abram, ia kemudian memandang rendah Sarai yang tidak bisa mempunyai anak. Penindasan itu pun tidak lepas dari ijin Abram. Sementara dalam pelariannya, Hagar bertemu dengan malaikat yang menyampaikan pesan dari Tuhan. Menariknya, Hagar pun menerima janji bahwa keturunannya akan menjadi sangat banyak. Dan Ismael, anak laki-laki yang dikandung Hagar, rupanya memiliki jalan hidup yang sudah ditentukan Tuhan.
Dari teks ini sebenarnya kita bisa melihat bagaimana manusia rentan untuk terjatuh. Bahkan tak terkecuali Abram dan Sarai, yang terkesan seolah kurang sabar menanti janji Allah yang akan memberikan keturunan. Memang bila kita amati budaya kuno di masa itu, apa yang dilakukan Sarai adalah hal yang lumrah dalam mengupayakan keturunan bagi suaminya. Karena seorang pemimpin kelompok bisa saja memiliki beberapa istri untuk menjamin keturunannya. Sementara pada diri Abram, hanya Sarai istri sahnya. Dan memang ketika pertama kali Abram menerima janji Allah, Sarai tidak turut mendengarnya. Oleh sebab itu, bisa jadi memang ada persepsi bahwa keturunan Abram di dapatkannya dari perempuan selain Sarai.
Kisah Hagar dan Sarai sebenarnya adalah kisah yang penting untuk diingat, karena hingga saat ini kisah ini masih menjadi polemik yang kompleks antara umat Kristen dan Islam yang berdebat tentang keabsahan keturunan Ishak dan Ismael. Dalam kekristenan yang mewarisi tradisi Yahudi, Ishak yang dilahirkan Sarai lah yang anak yang sah. Sementara Ismael, konon disebut sebagai leluhur bangsa Arab, dianggap sebagai keturunan yang tidak sah. Padahal jika kita amati perikop kali ini, Tuhan sendiri yang memberikan janji kepada Hagar bahwa keturunannya akan menjadi sangat banyak, dan mereka akan menentang saudara-saudaranya (ay. 12). Di sinilah sebutan El-Roi yang terlontar dari Hagar menjadi refleksi penting ketika ia mengalami sapaan Allah. Dalam konteks Hagar, kata roi sebenarnya tidak hanya berarti ‘yang melihat’, namun ada nuansa perhatian dan simpati. Karena secara tingkat sosial, kedudukan Hagar sebagai hamba tidak begitu penting atau jarang diperhitungkan, namun tindakan Allah yang menyapanya itu menjadikan keberadaan Hagar begitu penting.
Maka daripada berdebat tentang keabsahan suatu garis keturunan, yang lebih menarik untuk menjadi perhatian adalah refleksi atas kesalahan yang dilakukan Abram dan Sarai. Jika saja mereka tidak berspekulasi dan mencari jalannya sendiri, barang kali polemik dan perdebatan tentang keabsahan tidak akan muncul. Hal ini bisa menjadi bukti akan kerentanan manusia yang bisa salah dalam memahami rencana Allah. Dan dari bacaan kita, Allah tidak begitu saja meninggalkan hasil kesalahan manusia, malah justru melihat atau juga dengan setia memperhatikannya; Ialah El-Roi.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.