(0271) 625546
24 Desember 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Alkisah ada dua orang sahabat yang berlibur bersama. Sampai di stasiun kereta, mereka mendengar kabar buruk bahwa kereta yang akan mereka tumpangi terlambat sampai waktu belum ditentukan karena ada bencana banjir besar. Kedua orang sahabat ini pun terpaksa menunggu lama di stasiun bersama ratusan penumpang lain. Setengah jam menunggu, namun belum ada kabar. Satu jam berlalu juga tanpa kabar, sampai hampir dua jam mereka menunggu namun pihak stasiun belum bisa memastikan kedatangan kereta api. Salah satu sahabat itu mulai gusar dan mulai marah. Batere handponenya sudah hampir habis, dia merasa tidak nyaman karena cuaca panas, dan beberapa kali ia bersama penumpang lainnya melayangkan protes keras kepada petugas di stasiun. Tapi lain halnya dengan sahabat yang satu lagi. Ia juga merasakan ketidaknyamanan menunggu, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda gusar. Teman yang marah itu lalu bertanya: “Kamu kok bisa tenang-tenang saja di situasi seperti ini?” Sahabatnya lalu menjawab: “Kapan datangnya kereta bukan dalam kendali kita. Sudah ada yang mengurusi itu, yakni masinis dan PT Kereta. Yang ada dalam kendali kita adalah diri kita sendiri. Aku memilih untuk tidak menghabiskan waktu menunggu dengan marah atau protes. Lebih baik produktif bukan?” Sahabat ini lalu menyodorkan sebungkus makanan dan power bank pada temannya.
Jemaat yang terkasih, kita semua pernah merasakan betapa tidak enaknya berada dalam posisi menanti. Atau mungkin saat ini kita sedang berada dalam posisi menantikan atau mengharapkan sesuatu untuk terjadi. Dalam penantian itu, apakah sikap hati yang kita tunjukkan? Adakah kita seperti sahabat yang gusar dan marah dalam cerita di awal? Atau kita dapat bersikap sabar seperti sahabat yang lain? Joyce Meyer pernah menuliskan: “Kesabaran bukanlah kemampuan seseorang untuk menanti. Kesabaran adalah kemampuan seseorang untuk mempertahankan sikap yang benar sembari menanti”. Dalam minggu penantian atau Adven ke-4 kita akan belajar bagaimana menanti dengan sikap yang benar dari tokoh- tokoh Alkitab.
Setiap tahun kita merayakan Natal, merayakan penggenapan janji Allah akan Juruselamat yang dijanjikan datang melalui garis keturunan Daud. Janji tersebut diberikan dalam bacaan pertama kita. Pada saat Daud berada dalam masa kejayaan di awal pemerintahannya, Daud memiliki rencana untuk membangun rumah bagi Allah. Rumah dalam bahasa Ibrani adalah Bayit, yang dalam bahasa Indonesia kita adopsi sebagai bait. Namun keinginan Daud dijawab berkebalikan. Melalui nabi Natan, Allah menjanjikan bayit bagi Daud. LAI dalam TB menerjemahkan kata ‘bayit’ di ayat 11 sebagai ‘keturunan’ dan di ayat 16 sebagai ‘keluarga’. Dalam TB2, kata ‘bayit’ diterjemahkan sebagai ‘dinasti’ di ayat 11 dan 16, yang menandakan bahwa janji Tuhan bukan sekedar berbicara mengenai penerus Daud, melainkan sebuah garis keturunan yang panjang dan berkelanjutan bahkan dalam ayat 16 dikatakan tahta yang kekal. Akan tetapi dalam sejarah Alkitab kita melihat bahwa penantian umat akan janji Allah kepada Daud berlangsung begitu lamanya. Bukan hanya setahun dua tahun, melainkan sampai berabad- abad lamanya janji itu tersembunyi dari pemahaman umat sebagaimana dituliskan Paulus dalam penutup Surat kepada Jemaat di Roma.
Maria sebagai perempuan Yahudi yang taat, juga menanti-nantikan janji Allah tersebut. Betapa terkejutnya diri Maria pada saat malaikat Gabriel menampakkan diri dan memberitahukan bahwa dirinyalah yang akan menjadi ibu dari Raja yang dijanjikan itu. Pemberitahuan kelahiran Yesus tentu membawa sukacita bagi kita dalam kehidupan saat ini. Namun bagi Maria pada saat itu, berita ini menjadi berita yang mengguncangkan dan mengubahkan kehidupan! Sebagai manusia biasa, Maria gentar mendengar tugas yang begitu mulia namun juga berat. Tidak hanya harga dirinya yang terancam oleh stigma kehamilan di luar nikah, Maria juga berhadapan dengan ketidakpastian akan masa depannya. Dalam Injil yang lain dikisahkan bagaimana Yusuf bergumul untuk menceraikan Maria diam-diam, ini menunjukkan gejolak berat yang dialami oleh kehidupan Maria dan keluarganya. Namun melalui Gabriel Allah berulang kali memberikan kata-kata penguatan. Dalam segala kerapuhan dan keterbatasannya, Maria mendapat kasih karunia dalam pemeliharaan dan penyertaan ilahi. Allah menerima keraguan dan kekhawatiran yang mungkin muncul dalam diri Maria, namun Allah tidak membiarkan Maria menghadapinya seorang diri. Malaikat Gabriel menyapa Maria dengan sebuah salam yang diikuti dengan pernyataan: ‘Tuhan menyertai engkau’ (ayat 28). Belum habis keterkejutan dan kebingungan Maria segera malaikat Gabriel berkata: ‘Jangan takut’ (ayat 30) juga di ayat 35 kembali Allah menyampaikan penguatan: ‘kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau’.
Penguatan dan penyertaan Allah yang hendak berkarya dalam diri Maria membuat dirinya mampu untuk mengutarakan iman pengakuannya dengan berkata: ‘Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu’ (ayat 38). Dengan mengaku diri sebagai hamba (Yun: doule, budak) Tuhan, maka Maria menempatkan diri di bawah otoritas Tuhan. Ia menerima kehendak dan perintah Tuhan, pada saat bersamaan Maria pun menempatkan diri dalam pemeliharaan dan naungan Allah. Inilah teladan iman yang ditunjukkan oleh seorang perempuan bernama Maria. Ia setia menanti janji Allah, dalam penantian itu Ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa Allah menyertai dan menolong dirinya. Maka dalam menanti- nantikan saat dimana dirinya akan menjadi ibu dari Sang Juruselamat, Maria memilih untuk taat.
Saudaraku, penantian adalah hal yang tak terpisahkan dari iman. Kita percaya bahwa Allah sanggup menjawab pergumulan dan doa permohonan kita, akan tetapi kita juga percaya bahwa Allah bekerja melalui proses kehidupan. Bagaimana dan kapan Tuhan menggenapi janji-Nya kerap berada di luar kemampuan kita untuk bernalar dan memahami, namun kita percaya bahwa janji-Nya pasti digenapi. Maka di tengah kerapuhan kita, marilah kita menanti dengan sikap yang benar yakni taat. Seperti Maria, kita semua adalah hamba Allah. Tuhan mempercayakan karya-karya-Nya untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita baik dalam keluarga, gereja, maupun bermasyarakat. Maka kiranya sembari menanti, kita tetap dimampukan untuk tetap taat pada kehendak Allah, dengan tekun mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan, sampai pada akhirnya kita akan melihat dan menyaksikan penggenapan janji Allah.