(0271) 625546
24 Desember 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Di tahun 2008 dunia perfilman Indonesia memproduksi satu film yang cukup fenomenal berjudul Laskar Pelangi. Film karya anak bangsa yang diangkat dari seri pertama novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menceritakan situasi di Belitong sekitar tahun 1974 di mana pendidikan belum merata seperti masa sekarang ini. Mengisahkan tokoh Ikal, Lintang, dan 8 anak lainnya yang diajar oleh Bu Mus serta Pak Harfan, dua sosok guru yang dengan setia mendidik dan mengajar sekalipun dalam keterbatasan. Para murid ini tidak berasal dari keluarga dengan ekonomi yang berlebih, bahkan cenderung berkekurangan. Mereka juga tidak memiliki prestasi yang sangat menonjol. Dibandingkan dengan sekolah lain yang ada di situ, keberadaan sekolah Laskar Pelangi ini bisa dikatakan cukup memperihatinkan.
Yang menarik adalah kesediaan Bu Mus dan Pak Harfan untuk menghadirkan pendidikan bagi 10 anak ini. Mereka berdua menunjukkan kepedulian tanpa memandang kekurangan anak didiknya. Alih-alih menerima tawaran untuk pindah ke sekolah yang mampu memberi lebih baik secara ekonomi, mereka berdua memilih untuk tetap mengajar kesepuluh anak itu. Ketekunan dan kerelaan untuk tetap peduli menunjukkan buahnya dengan berhasilnya anak-anak didik sekolah Laskar Pelangi ini dalam berbagai bidang. Ada lomba cerdas cermat, lomba kesenian, bahkan beberapa muridnya berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Hal yang diceritakan oleh film ini menyentil dunia pendidikan yang sempat mengalami masa pengkotak-kotakan antara siswa unggulan berprestasi dan non- unggulan. Banyak sekolah lebih memilih untuk menerima anak- anak yang memiliki keunggulan dalam hal akademik. Sekolah- sekolah unggulan ini memiliki fasilitas yang lengkap untuk menunjang pembelajaran. Sementara mereka yang tidak berprestasi harus merasa cukup dengan sekolah yang apa adanya dengan fasilitas yang ala kadarnya. Dunia pendidikan seolah lebih peduli pada siswa yang memiliki kelebihan dibandingkan kepada mereka yang sebaliknya. Akibatnya, mereka yang berada dalam kondisi kurang baik semakin terpuruk dengan menipisnya kepedulian kepada mereka.
Dalam hidup beriman seringkali terbangun anggapan bahwa Allah hanya peduli kepada orang-orang yang “suci” dan “baik”. Kata tersebut dalam tanda kutip karena persepsi “suci” dan “baik” seringkali begitu subjektif dan kondisional. Pun dalam penceritaan sejarah Alkitab, Allah yang hadir merawat dan peduli kepada umat yang hidupnya benar dan baik begitu keras mengumandang. Memang konsep ini tidak salah, namun menjadi keliru ketika dipakai untuk membatasi karya Allah pada manusia. Allah yang hanya peduli kepada mereka yang baik dan membuang mereka yang tidak baik. Akibatnya, orang yang merasa dirinya “suci” rawan menganggap yang “tidak suci” sebagai yang tidak berhak atas kebaikan Allah atau melihat orang yang mengalami keadaan yang “tidak baik” sebagai yang tidak dipedulikan oleh Allah. Padahal bacaan Yesaya dan Lukas justru menunjukkan hal yang berbeda. Di tengah seruan akan penghu- kuman dari Tuhan sebagai akibat dosa Yehuda, nubuat Yesaya justru menunjukkan tetap adanya kepedulian Allah di tengah situasi yang sulit.
Hukuman dan situasi yang dipandang negatif tidak lantas berarti tiadanya kepedulian Allah. Kepedulian Allahlah yang justru membuat bangsa yang sedang dirundung kesulitan itu tetap memiliki pengharapan untuk beriman. Pun demikian pemberitaan Lukas. Cerita keluarga Yusuf yang sedang kembali untuk mendaftarkan diri sebagai bagian pengakuan keberadaan mereka ternyata kontradiktif dengan cerita para gembala yang tetap di padang menjaga kawanan dombanya. Memang dalam tradisi Yahudi, para gembala adalah warga kelas bawah yang keberadaannya tidak dianggap. Mereka tidak memiliki hak yang sama dengan orang lain, tidak diakui, dan seringkali juga tidak dipedulikan. Maka keputusan sorga untuk menyampaikan kabar Natal mula-mula kepada para gembala hendak menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada mereka yang tersisih. Allah hadir menyapa mereka yang selama ini tidak tersapa dan sapaan itu mengubah mereka menjadi orang-orang yang berpengharapan.
Selaras dengan berita tersebut, bukankah sesungguhnya sapaan Allah kepada kita juga memuat makna yang sama? Kita dahulu adalah orang-orang berdosa yang hidup jauh dari Allah tetapi disapa dan dipedulikan-Nya melalui karya penyelamatan dalam Yesus Kristus. Inilah yang kemudian mendorong Paulus meneguhkan Titus dan pembaca suratnya untuk menyelaraskan diri dengan kepedulian Allah. Kita yang sudah diperhatikan Allah diundang untuk hidup sepadan dengan kebaikan tersebut. Itulah wujud perayaan atas kepedulian Allah pada manusia. Maka orang beriman diundang untuk membangun sikap hidup yang tepat. Memahami bahwa Allah berkenan peduli dan meng- hadirkan kebaikan kepada semua orang, disusul dengan peraya- an akan kebaikan Allah itu dalam wujud hidup yang selaras dengan kehendak-Nya. Itulah yang seharusnya menjadi pondasi karya layan umat di tengah kehidupan bersama.
Di tengah tipisnya pengharapan oleh karena situasi eko- nomi kala itu, kepedulian menjadi tunas segar yang menumbuh- kan asa untuk terus berjalan menggapai cita. Itulah yang ditun- jukkan oleh sosok Bu Mus dan Pak Harfan, yang menaburkan kepedulian kepada 10 anak Laskar Pelangi sehingga harapan akan kehidupan yang lebih baik terus terpupuk. Keterbatasan dan kekurangan dari anak-anak itu tidak memupuskan kepeduli- an kedua orang guru ini. Semua itu berbuahkan semangat untuk berproses bersama. Bukankah Allah kita juga demikian?
Allah tidak saja hadir kepada para pembesar, kepada para pemimpin rohani, kepada orang-orang kaya. Ia justru hadir dengan pertama-tama menyapa orang-orang yang terpinggir- kan, yang tidak dihargai dan tidak dipedulikan. Pun pengharap- an akan kehidupan yang baik juga tidak hanya datang kepada mereka yang hidup dalam keadaan baik. Ia menumbuhkan asa kepada bangsa yang terhukum, terbuang, dan terluka. Ia hadir bagi kita.
Di tengah keberagaman dan perbedaan yang dihidupi oleh Gereja, seringkali penilaian dan penghakiman kepada seseorang atau sekelompok orang begitu mudah untuk dijatuhkan, apalagi ketika dikaitkan dengan kebaikan Allah yang seringkali dimaknai begitu subjektif. Kelompok yang mendapatkan situasi “baik” dengan gampangnya mengklaim bahwa mereka dipeduli- kan oleh Allah. Sebaliknya, kelompok yang mendapatkan situasi yang “tidak baik” akan dinilai sebagai yang tidak mendapatkan perhatian dari Allah. Di malam Natal ini, kita diajak untuk meli- hat, merasakan, dan merefleksikan kasih Allah yang ternyata mau peduli kepada semua ciptaan apa pun kondisinya. Maka patut bagi Gereja, baik sebagai pribadi maupun komunitas, untuk menyadari dirinya sebagai “yang dipedulikan oleh Allah”.
Gereja diundang untuk mewartakan kepedulian Allah kepada manusia. Allah yang mau peduli kepada semua orang dengan segala keberadaannya, itulah yang seharusnya melandasi karya layan Gereja. Gereja bukan sekadar kumpulan orang- orang suci yang berhak untuk menilai dan menghakimi orang lain melalui karya layannya. Gereja justru diundang untuk merayakan kebaikan Allah itu kepada semua orang tanpa terbatasi oleh sekat-sekat penilaian. Justru melalui pemberitaan tentang kepedulian Allah itulah Gereja memulihkan mereka yang lemah, menghibur yang berduka, menguatkan yang terbeban, memotivasi yang bergumul, dan membebaskan yang terikat oleh kuasa dosa. Malam Natal ini mengajak kita untuk berefleksi tentang kasih yang peduli pada semua orang. Mari kita mulai membagikan sapaan Tuhan yang hadir bagi semua ciptaan. Selamat merayakan Natal. Tuhan memberkati. Amin.