(0271) 625546
28 Maret 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Ada tiga baris kalimat yang cukup populer yang didapatkan dari kamp konsentrasi Nazi di Cologne, Jerman. Kalimat ini berbunyi demikian, “Aku percaya akan adanya matahari walau ia tidak bersinar; aku percaya akan adanya cinta walau tak ada seorangpun yang menyatakannya; aku percaya akan adanya Tuhan, walau Ia tampak diam.”
Tiga baris kalimat yang sederhana ini dituliskan di dinding gudang bawah tanah oleh seorang Yahudi yang dipenjarakan di sana. Di kamp konsentrasi, ia bersama begitu banyak orang Yahudi lainnya mengalami penahanan yang keji. Mereka semua dipenjarakan untuk disingkirkan melalui pembunuhan masal. Selama menanti hari eksekusi, mereka mengalami penderitaan yang sangat berat, bahkan beberapa dari mereka juga diminta untuk menjadi buruh kerja paksa.
Sekilas, tiga kalimat ini bernada miris, menyiratkan pengharapan di tengah situasi yang begitu pedih. Di gudang bawah tanah, ia tidak dapat melihat matahari lagi sampai akhir kehidupannya. Di kamp konsentrasi, ia tidak dapat menemukan orang yang menyatakan cinta satu sama lain. Ia hanya menemukan banyak kebencian, siksaan keji, dan keputusasaan. Dan di saat itu juga, ia merasakan Tuhan seakan diam, tidak melakukan apa-apa untuk menolong mereka.
Tetapi kalimat ini tidak berhenti sampai di sini. Ia melanjutkan kata-katanya:
Aku percaya, melalui semua pencobaan akan selalu ada jalan keluar.
Tetapi terkadang, dalam penderitaan dan keputusasaan tanpa adanya pengharapan
Hatiku menjerit mencari perlindungan, meyakini masih ada seseorang di sana.
Tetapi ada suara yang berbisik di dalam hati, Ia berkata,
“Bertahanlah anakku,
Aku akan memberikanmu kekuatan,
Aku akan memberikanmu harapan,
hanya, bertahanlah sedikit lagi.”
Aku percaya akan adanya matahari
walau ia tidak bersinar
Dan aku percaya akan adanya cinta
walau tak ada seorangpun yang menyatakannya Tetapi aku percaya akan adanya Tuhan,
walau Ia tampak diam.
Aku percaya melalui setiap pencobaan ini,
akan selalu ada jalan.
Mungkin suatu saat nanti akan ada sinar mentari
Mungkin suatu saat nanti akan ada kebahagiaan
Mungkin suatu saat nanti akan ada cinta
Mungkin suatu saat nanti akan ada kedamaian...
Ketika sajak ini dilihat secara utuh, barulah kita menyadari bahwa ia menemukan cinta. Tidak tersurat namun tersirat, bagaimana masih ada Allah yang mengasihinya seperti seorang ayah terhadap anaknya, yang memintanya untuk bertahan sedikit lagi. Kita memang tidak tahu bagaimana nasib selanjutnya dari orang yang menuliskan syair ini, tetapi kita menjadi tahu, bahwa cinta kasih yang ia temukan membuatnya dapat terus percaya di tengah penderitaan yang berat.
Bukankah ini juga yang kita jumpai dalam Alkitab kita? Dua bacaan dari daftar bacaan leksionaris kita hari ini menceritakan tentang dua peristiwa yang berbeda namun memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Keluaran 12:1-14 menceritakan mengenai penetapan perjamuan Paskah bangsa Israel. Dijelaskan secara rinci bagaimana orang Israel harus melakukannya. Tetapi di bagian akhir disampaikan tentang apa maksud dari perjamuan itu ditetapkan. Ayat 12 tertulis demikian, “Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN.” Ada tulah yang akan menjalani tanah Mesir sebagai hukuman akibat kejahatan bangsa Mesir. Tetapi tulah ini sungguh-sungguh celaka, orang Israel yang ada di sana juga bisa terkena tulah ini. Ayat 13 mengatakan, “Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada rumah- rumah di mana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku akan lewat dari pada kamu. Jadi tidak akan ada tulah kemusnahan di tengah-tengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir.”
Perjamuan ini menjadi cara Allah untuk menyelamatkan umat-Nya. Tetapi lebih jauh lagi kita lihat, perjamuan ini menjadi wujud cinta kasih Allah yang ditunjukkan di tengah- tengah situasi yang kelam dan mencekam. Di saat orang Israel berada di bawah perbudakan yang tak kunjung berakhir, Allah memberikan jalan keluar, dan perjamuan ini menjadi pintu yang memampukan orang Israel melangkah ke dalam hidup yang merdeka. Di kala situasi sungguh-sungguh mencekam, ketika ancaman kematian menghantui anak-anak sulung baik hewan maupun manusia di tanah Mesir, Allah menunjukkan cinta kasih-Nya dengan mengizinkan adanya pengganti bagi anak- anak sulung orang Israel. Domba atau kambing ditunjuk Allah untuk menanggung kematian itu, supaya orang Israel tetap hidup.
Lebih jauh lagi, ternyata kematian domba sulung sebagai pengganti menjadi simbol sekaligus isyarat akan hadirnya Yesus yang memberikan nyawa-Nya sebagai ganti kita. Seperti yang diungkapkan dalam 1 Korintus 11:23-26, Yesus menyebut roti perjamuan sebagai Tubuh-Nya dan air anggur sebagai Darah- Nya. Keduanya diserahkan bagi keselamatan manusia. Secara nyata, Yesus memberikan semua itu melalui kematian-Nya di kayu salib. Tetapi, sebelum hari itu datang, Yohanes 13 mengungkapkan bagaimana Yesus menyempatkan diri untuk berada bersama-sama murid-Nya. Ia tidak hanya makan perjamuan Paskah bersama para murid, Ia juga menyampaikan perintah baru untuk saling mengasihi. Pernahkah kita bertanya, mengapa perintah baru berbicara terkait cinta kasih? Apakah ini hanya karena pokok utama ajaran Yesus adalah soal mengasihi Tuhan dan sesama?
Ternyata, ini ada kaitannya dengan apa yang akan mereka hadapi. Sejenak mereka boleh masih bersama-sama Yesus, sang Guru yang mereka kasihi. Tetapi, sebentar lagi Yesus akan diambil dari tengah-tengah mereka. Situasi yang mencekam, memedihkan, sekaligus mengancam nyawa mereka terbentang di hadapan mereka. Tinggal sedikit lagi. Tinggal sesaat lagi. Dalam situasi begitu gelap kelam ini, mereka membutuhkan cinta kasih.
Cinta kasih itu menjadi kekuatan untuk bertahan di tengah pergumulan yang begitu berat. Cinta kasih menjadi sapaan pengharapan yang menghangatkan kehidupan di tengah kegelapan yang begitu dingin. Cinta kasih menyatakan Yesus di tengah-tengah mereka, walau Yesus tidak bersama-sama dengan mereka lagi, cinta kasih Yesus tetap dapat dirasakan dari apa yang ditunjukkan oleh para murid. Bahkan orang-orang di luar komunitas Kristen juga bisa melihat dan merasakan cinta kasih itu, seperti yang Yesus katakan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yoh. 13:35)
Sama seperti yang dialami oleh seorang tahanan di kamp konsentrasi dalam cerita di awal tadi. Ia sanggup untuk tetap kuat, tetap semangat, tetap berharap karena ia berpegang pada cinta kasih itu. Segelap apapun keadaan di sekitarnya, secara harafiah maupun kiasan, ia tetap percaya bahwa Tuhan mengetahui dan Tuhan masih mengasihi dirinya.
Karena itu perintah baru ini kini diperhadapkan pada kita. Apakah kita mampu menyatakan kasih terhadap sesama kita, terutama dalam masa-masa kelam mereka. Ketika mereka merasa sudah tidak tertolong lagi, tidak ada pengharapan lagi, dan tidak ada siapa-siapa lagi. Bisakah kita mengingatkan orang lain akan cinta kasih Kristus melalui cinta kasih kita? Dan ketika hidup kita pun berada di saat-saat tersulit, hari-hari terasa semakin meredup, apakah kita juga dapat menemukan cinta kasih Tuhan di dalam hidup kita?
Kiranya Tuhan menolong kita sekalian. AMIN