(0271) 625546
21 Agustus 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
“Siapakah aku ini?”, demikian kata musa yang masih belum yakin bahwa ia dipanggil untuk sebuah tugas. Tidak masuk di akalnya, karena seorang penggembala domba, yang bukan miliknya itu, harus menyelamatkan sebuah bangsa. Bukan seorang-dua orang atau kelompok, tetapi bangsa! Musa bukan ahli politik, bukan diplomat, bukan pula ahli perang. Dan yang membuatnya cukup untuk mengerjakan itu adalah karena ia disertai Allah.
Kesadaran akan akan penyertaan Allah adalah satu narasi yang khas dalam kekristenan. Narasi itu menjadi dasar penting bagi seluruh bangunan ajaran tentang anugerah keselamatan di sepanjang sejarah. Namun secara personal, kesadaran itu bukanlah hal yang mudah untuk diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Hal itu tercermin dari pertanyaan “siapakah aku ini?” sebagaimana diucapkan Musa yang mengandung konotasi keragu-raguan nyaris tidak percaya. Dan mungkin itu sering juga kita rasakan dalam perjumpaan kita dengan berbagai pekerjaan-pekerjaan yang kita anggap mustahil. Banyak yang menafsirkan bahwa itu adalah ekspresi kerenahan hati seorang nabi. Oleh sebab itu sering ada penjelasan bahwa kerendahan hati itulah yang membuat Musa dipilih sebagai tokoh yang istimewa di mata Allah. Maka, yang ada di benak kita, keterpilihan seseorang selalu mensyaratkan sebuah keistimewaan.
Padahal jika kita cermati, keterpilihan Musa bisa dipahami sebagai bukti kebebasan Allah dalam menentukan apa saja yang Ia kehendaki. Karena seolah tidak memperhitungkan kapasitas dan kompetensi, Allah begitu saja memberikan tugas kepada Musa. Seorang gembala domba menghadapi salah satu raja terbesar di masa itu. Dan justru dari fakta inilah kisah ini menjadi menarik, sebab yang menjadi acuan bukanlah kemampuan Musa, namun segalanya hanya bisa ditanggung dengan penyertaan Allah. Maka tidak mengherankan bahwa secara iman, siapa pun kita diutus untuk suatu pekerjaan yang tidak mudah dan nyaris mustahil dilakukan. Karena di hadapan pekerjaan-pekerjaan besar yang harus dilakukan, “siapa kita” tidak menjadi penting. Di atas segalanya hanya penyertaan Allah saja yang memampukan.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.