Para pengikut Yesus rupanya perlu makan. Hal itu kita ketahui justru dari perspektif Yesus yang memperhatikan. Sekali lagi, justru Yesus yang menampilkan perhatian. Ini hal yang menarik, sebab tuntutan Yesus kepada muridnya seolah memaksa supaya mereka diberi makan, bukan karena orang-orang banyak itu yang minta makan. Namun karena Yesus kasihan.

Hal ini penting untuk dicermati, karena kita bisa melihat tuntutan karakter yang perlu dimiliki sebagai murid Yesus. Pertama, para murid perlu tahu bagaimana cara Yesus memperhatikan kebutuhan orang lain. Hal itu bersumber pada belas kasih alih-alih perhitungan logika. Betapa tidak, keinginan Yesus untuk memberi makan sama sekali tanpa perhitungan yang logis.

Kedua, jelas bahwa menjadi murid Yesus harus siap memperjuangkan tindakan yang bisa jadi tidak masuk akal. Bagaimana mencarikan makan orang banyak itu? Pertanyaan ini tidak bisa disikapi hanya dengan jawaban tidak bisa, melainkan hanya kesediaan. Dan bila coba kita bayangkan siapa orang yang siap dengan tugas semacam itu?

Di sinilah yang menjadi perenungan penting. Sebab belas kasih bisa jadi selalu bertolak belakang dengan logika. Dalam praktik, hal itu mungkin umum kita alami, sebab belas kasih tidak memiliki ukuran, sementara kemampuan manusiawi kita jelas terbatas. Namun itulah syarat yang perlu selalu kita pertimbangkan ketika hendak mengikut Yesus. Karena bisa jadi, dalam kesediaan kita untuk belajar dalam berlaku kasih, logika kitalah yang menjadi tantangan. Berkaca dari kasus Yess memberi makan empat ribu orang, bukan ukuran logika kita yang penting. Melainkan kesediaan kita untuk mendukung perbuatan Yesus yang utama, karena toh Ialah yang mampu melakukan keajaiban. Siapkah kita?