(0271) 625546
26 Juni 2023
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Singkat cerita Stefanus, salah satu dari ketujuh orang yang dipilih untuk melakukan diakonia itu menjumpai masalah. Ketika “bersoal jawab” dengan beberapa orang yang berasal dari kota-kota yang jauh, Stefanus yang dengan hikmat dan penyertaan Roh Kudus itu berhasil berargumentasi. Hanya sayang, orang-orang yang “tak sanggup melawan” justru menghasut dan melayangkan tuduhan terhadap Stefanus. Akibatnya, Stefanus harus berhadapan dengan Mahkamah Agama untuk mempertanggung jawabkan tuduhan tersebut.
Frasa “bersoal jawab”, bila dilacak dalam bahasa asli yang dipakai oleh penulis Kisah Para Rasul, diterjemahkan dari kata sozeteo, yang bisa diterjemahkan dalam beberapa alternatif; [1] mencari atau memeriksa bersama, [2] berdiskusi, [3] berdebat. Demikianlah mengapa di dalam terjemahan inggris seperti KJV, dipakai kata disputing (berdebat), sementara dalam versi NIV, dipakai kata argued (berargumentasi). Dalam pola pikir Barat-Eropa, perdebatan dan pertukaran argumentasi adalah hal yang lumrah dalam usaha untuk mencari kebenaran. Maka, saling bertanya dan mengajukan pendapat bahkan kritik adalah hal yang biasa. Dengan cara ini, sebuah kebenaran bisa dipahami dari kesepahaman dari pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi.
Sementara hal yang berbeda dengan orang Timur-Asia. Pada umumnya, orang Asia selalu menempatkan kebenaran harus berasal dari sebuah otoritas. Maka tidak heran, bila orang Asia memahami kebenaran cenderung berpatokan pada perkataan dari tokoh yang dianggap memiliki otoritas dan wibawa. Di antaranya orang-orang tua, pemimpin masyarakat, tokoh agama dan guru, dsb. Oleh sebab itu, tidak akan mudah untuk untuk mengritik sebuah keyakinan yang sudah dihayati dalam batin. Sayangnya, bagi sebagian orang hal ini menjadi agak berlebihan, dengan menganggap bahwa kritikan diartikan sebagai hinaan. Karakter inilah yang mungkin melekat pada orang-orang yang tidak siap untuk berdiskusi di hadapan Stefanus. Sebab, rasa tersinggung dan malu, rupanya lebih dominan dalam diri orang-orang tersebut, daripada mencoba mau memahami isi perkataan Stefanus.
Jika kita amati, gejala serupa sangat umum terjadi, bahkan semakin tampak dalam kehidupan kita kini. Sebagai contoh, di tengah kesimpang-siuran informasi, situasi kini diperparah dengan sajian perdebatan para ahli yang dibumbui dengan sentimen dan provokasi di berbagai media. Celakanya, hal-hal semacam itulah yang suka disebarkan dan mudah viral. Maka, alih-alih menenangkan, satu informasi yang salah, cukup untuk membuat masyarakat semakin bingung dan resah. Akibatnya, masyarakat menjadi pesimis dan putus asa. Hal inilah yang perlu kita sadari. Sebagai murid Kristus yang wajib memberitakan kabar baik, diperlukan kehati-hatian yang ekstra supaya jangan sampai salah dalam menerima informasi dan menyampaikan sebuah kabar. Jika perasaan jemaat sudah dikacaukan dengan pesimisme karena informasi yang salah, setiap kebenaran atau kabar baik yang disampaikan tidak lagi berarti.
Pdt. Hizkia Fredo V., S.Si., M.Fil.