(0271) 625546
24 Maret 2024
Bacaan Alkitab :
Bahan Renungan :
Dalam budaya Indonesia, orang-orang biasanya berlomba untuk melaksanakan pesta pernikahan semegah mungkin. Semakin megah, dekorasi tampak fotogenic, hidangan semakin enak, tamu undangan akan memberikan sambutan yang mengesankan. Sementara jika pesta digelar secara sederhana, pesta itu kerap dicibir dengan ungkapan: pelit, kurang effort, menyepelekan tamu, dan dianggap memalukan.
Tindakan hebat dan heroik yang dilakukan seseorang juga mendapat pujian lebih banyak. Dalam film Spiderman misalnya, ketika Spiderman menyelamatkan kota dengan lincah, berani, dan penuh kekuatan, ia beroleh banyak pujian. Banyak pihak lupa bahwa sejatinya ada andil orang lain di balik kisah heroiknya. Pacar yang mencintainya, bibinya yang membangkitkan rasa percaya diri, bahkan Nick Furi (teknisi) yang membuatkan kostum dan melatih Spiderman. Di puncak performanya orang-orang “di balik layar” tindakan heroik Spiderman. Apa yang dilakonkan dalam film Spiderman itu sebenarnya ada di dalam kenyataan sehari-hari. Hal yang sama juga bisa terjadi di gereja bukan? Di gereja juga kerap ada sikap- sikap yang dianggap heroik sehingga sosok yang dianggap heroik itu lebih dipuja dari pada sikap anggota gereja lainnya yang dianggap biasa saja atau sederhana.
Dari dua contoh ini, yang ingin ditegaskan adalah hal-hal sederhana kerap kali tersembunyi, dikucilkan, dan kerap hilang dari pandangan kita jika dibandingkan dengan sikap heroik yang dahsyat.
Sikap heroik dinantikan di mana-mana dan oleh siapa saja, termasuk kepada Allah. Dengan cara pandang manusia, kita kerap menanti Allah melakukan berbagai perkara besar dalam kehidupan kita. Dalam kondisi hidup yang menyesakkan, kita berharap Allah menolong kita dengan tindakan heroik-Nya. Padahal tidak semua pertolongan Allah tampak heroik. Akibatnya kita kerap tidak merasakan hadirat Allah karena kita kecewa terhadap tuntutan yang kita bebankan pada Allah. Ia menolong dengan berbagai cara dan kita kerap tidak menyadari pertolongan tersebut.
Minggu ini kita memasuki Minggu Palma. Pada minggu ini kita menghayati kemuliaan Yesus yang masuk ke Yerusalem untuk memasuki penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Kala itu seseorang yang dianggap mulia biasanya diarak dengan menaiki kuda yang gagah. Hal ini dilakukan oleh para pemimpin Romawi. Mereka menaiki kuda yang gagah untuk menunjukkan eksistensi kekuasaannya. Cara Yesus menunjukkan kemuliaan-Nya berbeda dengan pemimpin Romawi. Ia memilih menggunakan keledai sebagai tunggangan-Nya.
Ketika Yesus memilih keledai untuk ditunggangi, tidak ada sikap heroik sama sekali dalam diri-Nya. Keledai kerap dinilai dungu dan lamban. Banyak orang tidak melihat kekuatan keledai yang unik dibanding dengan kuda. Kelebihan pertama, harga keledai lebih murah. Dengan demikian, keledai bisa menjadi tunggangan yang bisa dimiliki semua kalangan. Kedua, keledai merupakan hewan pembawa beban yang sesuai dengan iklim Israel. Keledai tahan panas, lebih hemat air, cocok untuk tanah berbatu, hingga punya ingatan tajam dalam bepergian. Walau tidak heroik, keledai cocok difungsikan bagi masyarakat kebanyakan. Dengan gambaran ini kita menemukan pesan simbolik mengapa Yesus naik keledai untuk masuk ke Yerusalem. Ia menggunakan cara yang tampak biasa saja, tidak heboh dan tidak heroik. Namun demikian, Ia menjangkau semua kalangan. Simbolisasi ini menjadi gambaran cara Allah menolong umat-Nya. Pertolongan-Nya yang sempurna kadang tampak biasa saja, tidak heroik sebagaimana yang kerap dibayangkan.
Hal ini bisa jadi cara Allah menolong kita tanpa kita sadari. Misal; ketika sakit, ia memberikan kesembuhan berangsur-angsur; Ketika ada masalah yang rumit, Tuhan memberi jalan keluar sedikit demi sedikit; ketika ada dukacita, Tuhan menghapus dan menghibur dengan cara yang tipis. Jadi walau kita tidak merasakan secara langsung, tapi pertolongan Tuhan tetap ada.
Oleh karena itu, penting bagi umat-Nya untuk tetap kuat dalam pengharapan. Jangan-jangan pertolongan Allah sedang terjadi, hanya saja kita tidak peka. Dalam Mazmur 118 dijelaskan pengharapan pemazmur yang sejak mula menubuatkan keselamatan dari Sang Mesias sebagai penyelamat. Dalam refleksinya pemazmur menghayati bahwa keselamatan tidak selalu dirasakan secara present (saat ini, di sini, ujug-ujug). Pemazmur menghayati bahwa pertolongan Tuhan memberinya damai sejahtera. Di zaman Daud, Israel hidup penuh kemenangan, emas rampasan, dan berkenan di hadapan Tuhan. Namun damai sejahtera Tuhan dalam mesias dirasakannya jauh lebih besar dari semua yang ada padanya, termasuk jauh lebih besar dibandingkan kemaharajaannya. Bercermin dari pengalaman Daud ini kita dapat berefleksi dengan bertanya: dalam segala perkara, termasuk ketika berada dalam kesesakan, apakah kita tetap merasa ada damai dalam hati? Damai sejahtera Allah selalu ada dalam segala hal. Itulah pertolongan Tuhan yang nyata tapi kurang kita sadari.
Sebagai orang percaya marilah kita menumbuhkan kepekaan hati dan pikiran kita terhadap pertolongan Tuhan yang tampak dalam perkara-perkara sederhana. Jangan pernah berhenti menyembah dan tetaplah mengagungkan pertolongan Tuhan sekalipun sederhana dan tidak tampak heroik.
Beriman secara sederhana diwujudkan dengan kasih menyadari Allah dalam segala hal. Cobalah merefleksikan kehadiran-Nya dari hal-hal yang tampak sederhana. Misalnya ketika kita merenungkan pepohonan, burung-burung di udara, dan gemercik air. Ciptaan selalu menggambarkan citra penciptanya. Bukankah hal sederhana yang dekat dengan kita cukup menunjukkan kemahaan-Nya untuk selalu menemani umat-Nya dalam segala keadaan? Marilah kita menghayati Minggu Palma ini dengan mengikut Yesus yang berjalan menuju Yerusalem melalui cara yang sederhana. Selanjutnya marilah kita wujudkan kehidupan sehari-hari dengan cara sederhana, sebab Allah yang kita imani adalah Allah yang sederhana.